Wilayah
perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya
92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih
perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai
kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga. Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas
landas kontinen dengan negara-negara tetangga dengan semangat good
neighboorhood policy atau semangat kebijakan negara bertetangga yang
baik, seperti :
1. Indonesia-Malaysia
Kedua
belah pihak bersepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan
sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan
penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang disebut
sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia – Malaysia kedua
negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama
berselang masih pada tahun 1969 Malaysia
membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh
(Pedra blanca) tentunya hal tersebut membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak
Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan
maritime yang secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri
dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan
memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.
Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk
pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969
dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970.
Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Batas
wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan
berakhir di dekat Pulau Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada
batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan
Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka.
Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969.
Batas landas kontinen, sesuai dengan hukum laut internasional,
merupakan batas yang memisahkan dasar laut dua atau lebih negara. Batas
landas kontinen tersebut tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga secara
umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal pengelolaan lapisan
di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk pertambangan
lepas pantai (off shore).
Masalah yang sering terjadi :
Penentuan
batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan
Selat Malaka masih belum disepakati ke dua negara. Ketidakjelasan batas
maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas
lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.
Demikian
pula dengan perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas belum
tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. Permasalahan lain antar kedua
negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan
penyelundupan. Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia
Malaysia Boundary Committee (JIMBC), merupakan badan formal bilateral
dalam menyelesaikan masalah perbatasan kedua negara yang dapat
dioptimalkan.
2. Indonesia-Singapura
Batas
wilayah laut antara Indonesia dan Singapura ditentukan atas dasar hukum
internasional. Perjanjian ini didasari atas Konvensi PBB Tentang batas
wilayah laut (The United Nations Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) pada 1982. Kedua negara juga turut meratifikasi UNCLOS.
Ratifikasi dari batas wilayah laut yang disetujui ini merupakan
kelanjutan dari perjanjian batas wilayah laut yang sebelumnya telah
disetujui oleh kedua negara sebelumnya pada 25 Mei 1973. Sementara
perjanjian terbaru yang diratifikasi, mempertegas batas wilayah laut
dari Pulau Nipa hingga Pulau Karimun Besar. Sedangkan pada sebelah
barat, pihak keamanan dan petugas navigasi dari kedua negara dapat
melaksanakan tugas mereka secara signifikan tanpa ada gangguan di
wilayah Selat Singapura.
Perjanjian
ini akan menentukan dasar hukum bagi petugas berwenang kedua negara
dalam menjaga keamanan, keselamatan navigasi, penegakan hukum dan
pengamanan atas zona maritim berdasarkan hukum yang berlaku. Indonesia
dan Singapura masih harus menyelesaikan masalah perbatasan mereka di
wilayah timur antara Batam dan Changi dan lokasi diantara Bintan serta
South Ledge, Middle Rock dan Batu Puteh. Penyelesaian batas wilayah
timur ini masih menunggu negosiasi antara Singapura dan Malaysia yang
masih harus dilakukan usai Pengadilan Internasional memerintahkan
Singapura dan Malaysia untuk melakukan perundingan pada 2008 lalu.
Masalah yang sering terjadi :
Penambangan
pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yakni wilayah yang
berbatasan langsung dengan Sinagpura, telah berlangsung sejak tahun
1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan
mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah.
Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di
laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem
yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan
sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan
pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat
menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau
kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan
perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan
batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.
3. Indonesia-Filipina
Proses
perundingan batas maritim RI – Filipina yang dilakukan sampai dengan
tahun 2007 telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan dihasilkannya
kesepakatan atas garis batas diantara kedua Tim Teknis Perunding. Saat
ini proses perundingan masih tertunda karena persoalan internal di pihak
Filipina, yaitu dikeluarkannya Republic Act No. 9522 bulan Maret 2009,
yang berisikan perubahan dari penetapan titik-titik dasar garis pangkal
(baseline) negara kepulauan Filipina, yang sebelumnya ditetapkan dalam
Republic Act No. 3046 tahun 1961 dan Republic Act No. 5446 tahun 1968.
Pada kesempatan pertemuan bilateral tingkat kepala negara antara
RI-Filipina yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret 2011, Menteri Luar
Negeri kedua negara telah menandatangani Joint Declaration between the
Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines concerning
Maritime Boundary Delimitation, yang intinya:
- Mempercepat proses penyelesaikan penetapan batas maritim RI-Filipina sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982;
-
Menginstruksikan Tim Teknis Bersama Penetapan Batas Maritim antara
Republik Indonesia dan Republik Filipina untuk bertemu dalam waktu yang
secepat mungkin
Masalah yang sering terjadi :
Belum
adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan
Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, menjadi salah satu
isu yang harus dicermati. Forum RI-Filipina yakni Joint Border
Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC)
yang memiliki agenda sidang secara berkala, dapat dioptimalkan
menjembatani permasalahan perbatasan kedua negara secara bilateral.
4. Indonesia-Thailand
Batas
Landas Kontinen telah diselesaikan. penetapan garis batas landas
kontinen kedua negara terletak di Selat Malaka dan laut Andaman.
Perjanjian ini ditandatangai tanggal 17 Desember 1971, dan berlaku mulai
7 April 1972. Sedangkan untuk batas ZEE masih dirundingkan. Pertemuan
penjajagan awal telah dilaksanakan tanggal 25 Agustus 2010 di Bangkok.
Thailand masih memerlukan konsultasi dengan parlemen untuk berunding.
Masalah yang sering terjadi :
Ditinjau
dari segi geografis, kemungkinan timbulnya masalah perbatasan antara RI
dengan Thailand tidak begitu kompleks, karena jarak antara ujung pulau
Sumatera dengan Thailand cukup jauh, RI-Thailand sudah memiliki
perjanjian Landas Kontinen yang terletak di dua titik koordinat tertentu
di kawasan perairan Selat Malaka bagian utara dan Laut Andaman.
Penangkapan ikan oleh nelayan Thailand yang mencapai wilayah perairan
Indonesia, merupakan masalah keamanan di laut. Di samping itu,
penangkapan ikan oleh nelayan asing merupakan masalah sosio-ekonomi
karena keberadaan masyarakat pantai Indonesia.
5. Indonesia-Vietnam
Indonesia
dan Viet Nam telah menyelesaikan perjanjian batas Landas Kontinen pada
tahun 2003. Batas landas kontinen antara Indonesia – Vietnam ditarik
dari pulau besar ke pulau besar (main land to main land). Dalam
perjanjian tersebut Indonesia berhasil meyakinkan Vietnam untuk
menggunakan dasar Konvensi Laut UNCLOS 1982. Dengan demikian prinsip
Indonesia sebagai negara Kepulauan telah terakomodasi. Permasalahan
batas maritim antara Indonesia dan Viet Nam yang masih harus
dirundingkan adalah penetapan garis batas ZEE. Pertemuan pertama untuk
membahas garis batas ZEE telah dilangsungkan pada bulan Mei 2010 di
Hanoi dan telah dilanjutkan pada pertemuan terakhir bulan Juli 2011 di
Hanoi. Kedua negara kini tengah menjajaki untuk mempelajari proposal
garis batas ZEE masing-masing.
Masalah yang sering terjadi :
Wilayah
perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore
di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil, memiliki kontur
landas kontinen tanpa batas benua, masih menimbulkan perbedaan pemahaman
di antara ke dua negara. Pada saat ini kedua belah pihak sedang
melanjutkan perundingan guna menentukan batas landas kontinen di kawasan
tersebut.
6. Indonesia-Australia
Perairan
antara Indonesia dengan Australia meliputi wilayah yang sangat luas,
terbentang lebih kurang 2.100 mil laut dari selat Torres sampai perairan
P.Chrismas. Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan
Australia yang telah ditentukan dan disepakati, menjadi sesuatu yang
menarik untuk dipelajari perkembangannya, karena perjanjian tersebut
dilaksanakan baik sebelum berlakunya UNCLOS ’82 (menggunakan Konvensi
Genewa 1958) maupun sesudahnya. Perjanjian yang telah ditetapkan juga
menarik karena adanya negara Timor Leste yang telah merdeka sehingga ada
perjanjian (Timor Gap Treaty) yang menjadi batal dan batas-batas laut
yang ada harus dirundingkan kembali secara trilateral antara RI – Timor
Leste – Australia.
Secara Garis besar perjanjian batas maritim Indonesia – Australia dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
· Perjanjian
perbatasan pada tanggal 18 Mei 1971 mengenai Batas Landas Kontinen di
wilayah perairan selatan Papua dan Laut Arafura.
· Perjanjian perbatasan pada tanggal 9 Oktober 1972 mengenai Batas Landas Kontinen di wilayah Laut Timor dan Laut Arafura.
· Perjanjian
perbatasan maritim pada tanggal 14 Maret 1997 yang meliputi ZEE dan
Batas Landas Kontinen Indonesia Australia dari perairan selatan P.Jawa
termasuk perbatasan maritim di P.Ashmore dan P.Chrismas.
Pada
tanggal 9 September 1989 telah disetujui pembagian Timor Gap yang
dibagi menjadi 3 area (A,B dan C) dalam suatu Zone yang disebut ”Zone Of
Cooperation”. Perjanjian Timor Gab ini berlaku efektif mulai tanggal 9
Februari 1991, perjanjian ini juga tidak membatalkan perjanjian yang
sudah ada sebelumnya, namun dengan merdekanya Timor Leste maka
perjanjian ini secara otomatis menjadi batal.
Masalah yang sering terjadi :
Perjanjian
perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen
dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian
RI-Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997. Penentuan
batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor perlu
dibicarakan secara trilateral bersama Timor Leste.
7. Indonesia-India
Garis
Batas Landas Kontinen Indonesia dan India adalah garis lurus yang
ditarik dari titik pertemuan menuju arah barat daya yang berada di Laut
Andaman. Hal itu berdasarkan persetujuan pada 14 Januari 1977 di New
Delhi, tentang perjanjian garis batas Landas Kontinen kedua negara.
Namun, pada beberapa wilayah batas laut kedua negara masih belum ada
kesepakatan.
Masalah yang sering terjadi :
Perbatasan
kedua negara terletak antara pulau Rondo di Aceh dan pulau Nicobar di
India. Batas maritim dengan landas kontinen yang terletak pada
titik-titik koordinat tertentu di kawasan perairan Samudera Hindia dan
Laut Andaman, sudah disepakati oleh kedua negara. Namun permasalahan di
antara kedua negara masih timbul karena sering terjadi pelanggaran
wilayah oleh kedua belah pihak, terutama yang dilakukan para nelayan.
8. Indonesia-Papua Nugini
Batas
darat Indonesia dan Papua New Guinea didasarkan pada perjanjian
Indonesia dan Australia mengenai garis-garis batas Indonesia dan Papua
Nugini.Ditandatangani pada Tanggal 12 Februari 1973 di
Jakarta. Pemerintah selanjutnya meratifikasi perjanjian tersebut dengan
membentuk Undang-undang Nomor 6 tahun 1973. Namun sampai saat ini
perjanjian bilateral tersebut belum menjadi landasan legal bagi survey
dan demarkasi batas darat antara kedua negara. Sebagai bagian dari
perjanjian bilateral 1973, telah didirikan 14 pilar MM di sepanjang
perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Titik-titik tersebut ada di 141°
Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai dengan MM10. Selanjutnya mulai
dari pilar MM11 sampai dengan pilar MM14 berada pada meridian 141° 01’
10". Pilar MM10 dan MM11 batas kedua negara mengikuti Thalweg dari
sungai Fly. Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983- 1991, sesuai
amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua Nugini,
telah didirikan 38 Pilar MM baru. Sehingga sampai saat ini telah berdiri
52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru
tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi Bersama (Joint
declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua
pemerintahan.
Masalah yang sering terjadi :
Indonesia
dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim.
Meskipun demikian, ada beberapa kendala kultur yang dapat menyebabkan
timbulnya salah pengertian. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan
antar penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim
terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks
di kemudian hari.
9. Indonesia-Timor Leste
Berdirinya
negara Timor Leste sebagai negara merdeka, menyebabkan terbentuknya
perbatasan baru antara Indonesia dengan negara tersebut. Perundingan
penentuan batas darat dan laut antara RI dan Timor Leste telah dilakukan
dan masih berlangsung sampai sekarang.
First
Meeting Joint Border Committee Indonesia-Timor Leste dilaksanakan pada
18-19 Desember 2002 di Jakarta. Pada tahap ini disepakati penentuan
batas darat berupa deliniasi dan demarkasi, yang dilanjutkan dengan
perundingan penentuan batas maritim. Kemudian perundingan Joint Border
Committee kedua diselenggarakan di Dilli, pada Juli 2003.
Masalah yang sering terjadi :
Saat
ini sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih
menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi
secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia. Persamaan
budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua
sisi perbatasan, dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional,
dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Disamping itu,
keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia
dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan
di kemudian hari.
10. Indonesia-Republik Palau
Republik
Palau berada di sebelah Timur Laut Indonesia. Secara geografis negara
itu terletak di 060. 51” LU dan 1350.50” BT. Mereka adalah negara
kepulauan dengan luas daratan ± 500 km2.
Berdasarkan
konstitusi 1979, Republik Palau memiliki yuridiksi dan kedaulatan pada
perairan pedalaman dan Laut Teritorial-nya hingga 200 mil laut. Diukur
dari garis pangkal lurus kepulauan yang mengelilingi kepulauan.
Masalah yang sering terjadi :
Palau
memiliki Zona Perikanan yang diperluas (Extended Fishery Zone) hingga
berbatasan dengan Zona Perikanan Eksklusif, yang lebarnya 200 mil laut
diukur dari garis pangkal. Hal itu menyebabkan tumpang tindih antara ZEE
Indonesia dengan Zona Perikanan yang diperluas Republik Palau.
Sehingga, perlu dilakukan perundingan antara kedua negara agar terjadi
kesepakatan mengenai garis batas ZEE.
Referensi :
· Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional http://www.kemlu.go.id
Terima Kasih...
BalasHapusntaps
BalasHapus