Selasa, 03 Januari 2012

Resensi


Resensi Novel “Para Priyayi” karya Umar Kayam



Novel ini bercerita tentang Soedarsono seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten ia bisa sekolah dan kemudian menjadi guru desa. Dari sinilah ia memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja. Ketiga anaknya melawati zaman Belanda dan zaman Jepang tumbuh sebagai guru opsir peta dan istri asisten wedana. Cita-cita keluarganya berhasil. Benarkah? Lalu apakah sesungguhnya “priyayi” itu? Status kelas? Pandangan dunia kelas menengah elite birokrasi? Sekadar gaya hidup? Atau kesemuanya? 

Bagi yang senang dengan sejarah, romansa dan drama, buku ini mungkin merangkum semuanya. Novel “Para Priyayi“-nya Umar Kayam ini memberikan suatu gambaran masyarakat Jawa yang paling elaboratif dari karya lain yang pernah saya baca. Sungguh “Jawa”, ringan, diplomatis, sopan, berkesan basa-basi, tapi barmakna sangat dalam. Umar Kayam mereka–reka sebuah kota bernama “Wanagalih” yang sepertinya identik dengan Ngawi. Tidak jelas kenapa dia memakai nama ini sementara dari keseluruhan plot cerita, setting tempat dan waktunya boleh dikata nyata (tidak ada tempat rekaan) mulai dari Suasana perkampungan di Solo, Wonogiri, Yogya, sampai Istana Mangkunegaran, dll yang mencakup  tiga generasi di masa transisi Indonesia, dari zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan, Gestapu, sampai akhir 60-an.
Zaman-zaman yang penuh gejolak, dan sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Jaman yang tidak pernah saya alami sendiri, membaca novel ini ada gambaran yang bisa dimunculkan di dalam kepala tentang situasi saat-saat itu. Seperti mengendarai “mesin waktu”  balik ke masa lalu. Dan membandingkannya dengan gambaran yang saya punyai saat ini.

Cara bercerita dalam novel ini unik. Novel ini dibagi menurut tokoh tokohnya, Umar Kayam  bercerita sebagai orang pertama dari tiap tokohnya. Walaupun begitu, antara bagian satu dan seterusnya tetap menjadi bagian yang utuh yang menjadi satu kesatuan cerita yang bisa juga dibaca secara terpisah meskipun tidak terkotak kotak menjadi seperti kumpulan cerpen.
Bagian yang mengajak kita merenung ( dan cukup menarik menurut saya ) adalah dialog antara Lantip dan Pakdenya di akhir cerita setelah pemakaman Eyang Soedarsono ….
“Kalau menurut kamu, apa arti kata priyayi itu, Tip?”
“Sesungguhnya saya tidak pernah tahu, Pakde. Kata itu tidak terlalu penting bagi saya.”

Lewat novel ini sepertinya Umar Kayam ingin menyampaikan bahwa seseorang disebut priyayi bukan karena kedudukan dan kekayaannya, karena banyak juga para priyayi ( dalam kontek sekarang kita bisa membacanya pejabat / penguasa..? ) yang justru tidak ’mriyayeni’. Sebuah karya yang bisa menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mengenal kehidupan masyarakat tradisional Jawa, ataupun buat mereka yang ingin mencari akar Jawanya..!!?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar